Wednesday, December 13, 2017

Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roji'un..AM Fatwa Meninggal

إنا لله وإنا اليه راجعون..


Indonesia berduka. Seorang putera bangsa dipanggil ke haribaan sang Maha Pencipta


Bapak AM Fatwa, tokoh nasional, Mantan wakil ketua MPR yang juga anggota DPD asal DKI Jakarta menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit MMC, pukul 06.25 WIB.
Sebagaimana kami kutip breaking news dari akun twitter radio Elshinta.
Berita duka, telah meninggal dunia dengan tenang Bpk AM Fatwa, mantan Wakil ketua MPR yang juga anggota DPD DKI Jakarta, pada pukul 06.25 WIB di RS MMC, Jakarta. Info kami terima dari Bpk Hanif (Staf AM Fatwa). #RameDiTwitterElshinta https://t.co/D9OFWveq7y
Andi Mappetahang Fatwa atau AM Fatwa meninggal dunia pada usia ke-78, Kamis (14/12/2017) setelah berjuang melawan penyakit kanker hati.

Tentang AM Fatwa
AM Fatwa lahir di Bone pada 12 Februari 1939 dari keluarga yang bersahaja, meskipun sebenarnya dia termasuk keturunan keluarga Kerajaan Bone. Ia menjadi ikon perlawanan dan sikap kritis terhadap rezim otoriter Orde Lama dan Orde Baru, sehingga sejak muda sering mendapat teror dan tindak kekerasan dari aparat intel kedua rezim otoriter tersebut, sampai keluar masuk rumah sakit dan penjara.

Terakhir ia divonis 18 tahun penjara, dari tuntutan seumur hidup, dijalani efektif 9 tahun, lalu tahanan luar, dan dapat amnesti, karena kasus Lembaran Putih Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, dan khutbah-khutbah politiknya yang kritis terhadap Orde Baru. Jika diakumulasi, ia menghabiskan waktu selama 12 tahun di balik jeruji besi, selain tahanan luar.

AM FAtwa adalah salah seorang anak asuh Amnesti Internasional di London yang banyak mempublikasikan kasus-kasus politiknya ke dunia internasional. Dua Anggota Kongres Amerika Serikat telah mendesak Presiden George Bush untuk memberikan perhatian khusus kepada dua tahanan politik Indonesia, yaitu HR Dharsono dan AM Fatwa. Dokumen surat kedua anggota kongres tersebut diterima AM Fatwa dari mantan Kapolri yang juga aktivis Petisi 50, Jend. Pol. Hoegeng Iman Santoso. Ketika Dan Quayle, Wapres AS (1989-1993) berkunjung ke Indonesia pada bulan April 1989, tokoh pegiat HAM, HJC Princen dkk langsung menemuinya dan mengingatkan agar lebih memperhatikan nasib dua tahanan politik tersebut. Wapres Dan Quayle lalu memerintahkan Dubes AS di Jakarta untuk tindak lanjut bentuk perhatian tersebut. Kedutaan AS lantas mengutus Sekretaris Politiknya Mr. Julian Lebourgeois untuk mengunjungi keluarga AM Fatwa di Kramat Pulo Gundul, di pinggir rel kereta dan di samping kali comberan yang hitam.

Atas segala penyiksaan yang dialami, ia merupakan satu-satunya warga negara yang pernah menuntut Pangkobkamtib di pengadilan. Tapi setelah terjadi perubahan sistem politik dan rezim pemerintahan melalui gerakan reformasi yang turut dipeloporinya, dengan jiwa besar dan sikap kenegarawanan, ia memaafkan dan menemui tokoh-tokoh yang bertanggung jawab atas penyiksaan dan pemenjaraannya. Lalu, secara manusiawi dan kekeluargaan membina hubungan baik yang berkelanjutan.

Sejak muda AM Fatwa aktif di berbagai organisasi seperti PII, GPII, HMI, dan Muhammadiyah. Ia juga aktif dari awal terbentuknya Keluarga Besar PII sebagai Penasihat dan kini Dewan Kehormatan. Demikian juga di KAHMI pernah jadi Wakil Ketua di awal terbentuknya, kemudian Dewan Penasihat. Belakangan juga ICMI, terakhir sebagai Dewan Kehormatan. 

Ia juga aktif di front-front pergerakan seperti Front Pemuda, Badan Kerjasama Pemuda Militer (BKSPM), Front Nasional, dan Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB), serta Front Anti Komunis (FAK) pimpinan Isa Anshari, Hassan Aidit, dan Aunur Rofiq Mansur. Pernah menjadi Sekretaris Perserikatan Organisasi-Organisasi Pemuda Islam Seluruh Indonesia (PORPISI) mewakili HMI, ketika presidiumnya diketuai A. Chalid Mawardi dari GP Anshor. Juga pernah menjadi Sekjen Badan Amal Muslimin ketika presidiumnya diketuai oleh Letjen. H. Soedirman. Badan Amal Muslimin nantinya menjadi fasilitator inisiatif terbentuknya Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI).

AM Fatwa mengenyam pendidikan tinggi di IAIN Jakarta Fak. Dakwah (1960-1965 minus ujian akhir), merangkap Fak. Publisistik Univ. Ibnu Chaldun Jakarta (1960-1964), melanjutkan ke UNTAG Surabaya Fak. Ketatanegaraan & Ketataniagaan (1968-1970) ujian akhir S1 UNTAG Jakarta (1970). Selain aktif di intra-universiter sebagai Ketua Senat dan Anggota Dewan Mahasiswa IAIN, ia juga memelopori terbentuknya HMI Komisariat IAIN dan Cabang Ciputat.

Saat kuliah di IAIN itu, AM Fatwa mendapat beasiswa ikatan dinas dari ALRI, dan menjabat Ketua Koprs Pelajar Calon Perwira AL Komisariat Jakarta menggantikan dr. Otto Maulana dari Universitas Indonesia (1960-1961). Selanjutnya jadi Ketua Senat Seluruh Indonesia menggantikan dr. Tarmizi Taher dari Universitas Airlangga (1961-1963).

Selanjutnya mengikuti Sekolah Dasar Perwira Komando (Sedaspako) V/1967 KKO AL, namun tidak berlanjut sebagai Perwira AL, dan hanya menjadi Imam Tentara yang ditempatkan sebagai Kepala Dinas Rohani Islam Pusat Pendidikan Tamtama, merangkap Kepala Penerangan di Gunung Sari, Surabaya. Terakhir Wakil Kepala Dinas Rohani Islam Komando Wilayah Timur KKO AL di Surabaya hingga akhir tahun 1969. Kemudian oleh Komandan Pusat KKO AL Mayjen KKO Moch. Anwar, pada tahun 1970 AM Fatwa diperbantukan kepada Gubernur DKI Jakarta, Letjen KKO AL Ali Sadikin, di bidang agama dan politik.

Ketika Jend. AH Nasution dan Jend. A. Yani melakukan koordinasi dan konsolidasi kekuatan Ormas non-parpol, untuk mengimbangi pengaruh PKI dalam elit politik dan kekuasaan, lalu dibentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), Anggota Front Nasional pada 20 Oktober 1964. AM Fatwa ikut menandatangani deklarasinya, mewakili Pelajar Islam Indonesia (PII). Ketika Golkar menjadi kekuatan politik Orde Baru, AM Fatwa yang berstatus PNS Pemda DKI, pernah menjabat Ketua Bidang Pembinaan Rohani Golkar DKI (1976).

Meski berstatus narapidana bebas bersyarat pada tahun 1993, yang mestinya secara formal baru bebas tahun 2002, atas izin Presiden Soeharto, Menteri Agama Tarmizi Taher menjadikannya Staf Khusus, dan berlanjut pada Menteri Agama Quraish Shihab.

Mantan Sekretaris Kelompok Kerja Petisi 50 itu bersama eksponen bangsa lainnya menggulirkan gerakan reformasi, hingga Presiden Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998.
AM Fatwa adalah salah seorang deklarator berdirinya Partai Amanat Nasional, lalu menjadi Ketua DPP PAN (1998-2005), Wakil Ketua MPP PAN, dan Dewan Kehormatan PAN (2015-2020).

Dalam Pemilu 1999, AM Fatwa terpilih menjadi Anggota DPR RI dari PAN. Ia lalu menjabat Wakil ketua DPR RI (1999-2004). Dalam Pemilu 2004, ia terpilih untuk kedua kalinya dari PAN, dan menjadi Wakil Ketua MPR RI (2004-2009). Pada Pemilu 2009 dan 2014, AM Fatwa memutuskan maju sebagai calon perorangan dan terpilih menjadi Anggota DPD RI, Senator dari DKI Jakarta.

Pada HUT KNPI 1999, DPP KNPI pimpinan Adyaksa Dault memberikan award kepada AM Fatwa sebagai Pegawai Negeri dan Politisi Berkepribadian. Pada tanggal 14 Agustus 2008, ia dianugerahi tanda kehormatan Bintang Maha Putera Adipradana oleh Presiden RI. Pada HUT ke-30 Revousi Islam Iran, 29 Januari 2009, AM Fatwa memperoleh Award Pejuang Anti Kezaliman dari Presiden Mahmoud Ahmadinejad, bersama sembilan tokoh pejuang demokrasi dan kemerdekaan dari sembilan negara. Atas pemikiran dan pengabdiannya pada masyarakat, khususnya di bidang pendidikan luar sekolah, AM Fatwa dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada 16 Juni 2009.

Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) memberinya tiga kali penghargaan. Pertama, sebagai Anggota Parlemen paling produktif menulis buku (2004). Kedua, penghargaan atas pledoi terpanjang di Pengadilan Negeri 1985 (2004). Dan ketiga, dalam upayanya merintis penggunaan Hak Bertanya Anggota DPD RI kepada Presiden tentang kebijakan ‘Mobil Murah’, wewenang yang pertama kali digunakan oleh DPD RI dengan memecahkan rekor terbesar penanda tangan, 96 Anggota DPD RI (2013).

Sejumlah masyarakat adat juga tak ketinggalan memberinya gelar kehormatan, seperti Marga Ginting dari Tokoh Adat Brastagi (1999), Marga Harahap dari masyarakat Adat Padang Sidempuan (2001), Gelar Tumenggung Alip Jaya dari Adat Keratuan Paksi Pak Skala Brak (Kerajaan Tua di Lampung, 2006), dan Gelar Kajeng Pangeran Notohadinagoro dari Pakubuwono XII (2002).

Selama dua periode menjadi Senator di DPD RI, AM Fatwa tercatat sebagai Ketua Badan Kehormatan (BK) DPD RI yang terlama (2012-2017), dan beberapa kali menghasilkan keputusan fenomenal, seperti pemberian sanksi tegas kepada sesama anggota DPD yang melanggar kode etik sebagai anggota Parlemen. Sebagai anggota DPD tertua, dia juga memimpin sidang peralihan pertengahan periode kepemimpinan DPD RI yang krusial dan kontroversial (2017).

Dalam kepemimpinannya juga, dua kali BK DPD RI menyelenggarakan seminar nasional dengan tema Peran Badan Kehormatan dalam Menjaga Harkat, Martabat, Kehormatan, dan Citra Lembaga Legislatif (2012) dan Pelaksanaan Hak-Hak Protokoler Anggota Legislatif di Pusat dan Daerah (2013). Kedua seminar nasional untuk pertama kalinya diselenggarakan dalam sejarah keparlemenan Indonesia, dan ternyata banyak menjadi rujukan bagi DPRD-DPRD seluruh Indonesia.

Meskipun mewakili daerah pemilihan DKI Jakarta, advokasi untuk menegakkan demokrasi dan HAM yang ia lakukan tidak hanya terbatas pada kasus-kasus besar yang terjadi di ibukota. Seperti, ikut menyelesaikan sengketa makam Mbah Priok antara masyarakat dengan PT Pelindo II, memediasi sengketa masyarakat Ancol dengan PT Pelindo II, memediasi sengketa lahan antara warga Meruya Selatan Jakarta Barat dengan pengembang PT Portanigra, memperjuangkan kepemilikan KTP bagi masyarakat Tanah Merah Plumpang Jakarta Utara, menyelesaikan sengketa rumah susun Tanah Abang antara penghuni dan pengembang, dan menyelamatkan PPD dari rencana likuidasi oleh Menteri BUMN lalu mengalihkannya menjadi BUMD. Juga kasus yang terjadi di daerah lain, seperti turun langsung di lapangan menyelesaikan sengketa Pilkada Sumba Barat Daya, sehingga Mendagri terpaksa melantik Bupati terpilih di Kemendagri Jakarta, karena Gubernur NTT tidak bersedia melantiknya(2014), membantu penyelesaian melalui Mabes Polri atas kasus pembakaran liar suatu perkebunan di Sumatera Utara (2014).

AM Fatwa juga aktif mengambil inisiatif dan menjadi panitia pengusulan gelar pahlawan nasional kepada tokoh-tokoh bangsa. Seperti KH Noer Ali (2006), Mohamad Natsir (2008), Sjafruddin Prawiranegara (2011), Pakubuwono X (2011), Ki Bagus Hadikusumo (2015), dan sekarang ia sedang berusaha terus mengusulkan gelar pahlawan nasional untuk Kasman Singodimedjo, Abdul Kahar Mudzakkir, AR Baswedan, dan Ali Sadikin.

AM Fatwa beberapa kali memimpin delegasi ke sejumlah negara sahabat, antara lain dalam rangka diplomasi parlemen, seperti merintis hubungan pertama DPR RI dengan Parlemen Polandia (2000), mengeratkan kembali hubungan RI dan RRC setelah terputus pasca peristiwa G30S/PKI (2003), merintis dibukanya kedutaan besar RI di Tripoli Libya setelah bertemu dengan Presiden Muammar Khaddafi (2001), ke Lisabon sebagai Koordinator Grup Kerjasama Bilateral Parlemen RI dan Portugal (2009), ke Havana mengangkat kasus utang beras Kuba kepada RI di masa pemerintahan Sukarno (2002), ke Riyadh merintis hubungan Parlemen RI dengan Parlemen Arab Saudi (2002), ke Khartoum menandatangani Kerjasama Parlemen RI dan Sudan (2004), ke Jeddah membahas perlindungan TKI dengan Menteri Tenaga Kerja Arab Saudi (2004), mengeratkan kembali hubungan DPR-RI dengan Parlemen Malaysia setelah selesainya politik konfrontasi (2004). Memimpin pertama kali kunjungan gabungan Anggota DPR dan DPD ke Parlemen Nasional dan Senat Australia di Canberra (2007) dan dibalas juga dengan kunjungan gabungan Anggota Senat dan DPR Nasional Australia,

Pada kunjungan gabungan Anggota DPR dan DPD yang kedua, AM Fatwa sempat menanam pohon perdamaian di Dataran Tinggi Golan perbatasan Syiria dengan Israel setelah mengunjungi Pasukan PBB dari TNI di Lebanon (2007). Sebelumnya atas jasa baik Parlemen Yordania, di samping berkunjung ke Masjidil Aqsha yang dikuasai Israel, AM Fatwa juga memerlukan mengunjungi Bethlehem tempat kelahiran Yesus (Nabi Isa). Sebagai Pimpinan Pansus Papua DPD RI, ke Finlandia untuk perbandingan otonomi khusus Papua dengan Aland Island—yang 100 tahun dikuasai Swedia, yang dalam perundingan dimenangkan Finlandia dengan beberapa konsesi, seperti ijin pengibaran bendera khusus Aland Island mendampingi bendera nasional Finlandia, dan juga penggunaan Bahasa Swedia sebagai bahasa resmi (2011).

Dari buah pikirannya telah lahir tidak kurang dari 29 buku, yaitu: Dulu Demi Revolusi, Kini Demi Pembangunan, eksepsi di pengadilan (1985), Demi Sebuah Rezim, Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili, pembelaan di pengadilan (1986, cetakan kedua 2000), Saya Menghayati dan Mengamalkan Pancasila Justru Saya Seorang Muslim, pidato pada acara pembebasan di penjara Cipinang (1994), Islam dan Negara (1955), Menggugat dari Balik Penjara (1999), Dari Mimbar ke Penjara (1999), Satu Islam Multipartai (2000), Demokrasi Teistis (2001), Otonomi Daerah dan Demokratisasi Bangsa (2003), Kampanye Partai Politik di Kampus (2003), PAN Mengangkat Harkat dan Martabat Bangsa (2003), Dari Cipinang ke Senayan (2003), Catatan dari Senayan (2004), Problem Kemiskinan, Zakat sebagai Solusi Alternatif (bersama Djamal Doa dan Aries Mufti, 2004), PAN Menyongsong Era Baru, Keharusan Reorientasi (2005), Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok: Pengungkapan Kebenaran untuk Rekonsiliasi Nasional (2005), Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme (2006 & 2007), Khutbah-Khutbah Politik AM Fatwa di Masa Orde Baru (2007), Satu Dasawarsa Reformasi-Antara Harapan dan Kenyataan (2008), Grand Design Penguatan DPD RI (2009), Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945 (2009), Pendidikan Politik Bernegara dengan Landasan Moral dan Etika (2009). Pancasila Karya Bersama Milik Bangsa Bukan Hak Paten Suatu Golongan (2010). Transisi Demokrasi di Atas Hamparan Korupsi: Buah Pikir Reflektif Atas Carut Marut Reformasi (2013), Meretas Jalan Membentuk Karakter (2013). Mobil Murah dan Kemacetan Jakarta (2014). Mengatasi Banjir Jakarta: Diangkat dari Dialog Bersama Warga (2015), Pahlawan Nasional KH Noer Alie (2016), Menggugat Kereta Cepat Api Jakarta-Bandung (bersama Ayi Hambali, 2017).

Kiprahnya dalam ranah sosial, politik, dan dakwah ternyata menarik sejumlah mahasiswa untuk menjadikannya objek penelitian. Antara lain, Pemikiran dan Kiprah Dakwah Andi Mappetahang Fatwa (Skripsi Ihsan Suri di UIN Syarif Hidatullah Jakarta tahun 2010), Keterpilihan AM Fatwa Sebagai Anggota DPD RI Periode 2014-2019 (Tesis Iqbal Syarifuddin di Universitas Indonesia tahun 2016), Dakwah Politik AM Fatwa (Skripsi Ridhallah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017). CW Watson, peneliti asal Inggris membuat publikasi khusus tentang AM Fatwa berjudul Criticism thought of AM Fatwa: An Indonesian Politician on Nasionalism, Politics, and Dakwah in Indonesia (versi Indonesia: Membaca AM Fatwa, 2008).

AM Fatwa telah merintis berdirinya beberapa lembaga pendidikan seperti Yayasan Pondok Karya Pembangunan (PKP/Jakarta Islamic School), Yayasan Ki Bagus Hadikusumo, dan Yayasan Putra Fatahillah dengan Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perbankan Islam Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Kini ia juga Ketua Pembina Yayasan Asrama Pelajar Islam (YAPI) yang didirikan Wakil Perdana Menteri Prawoto Mangkusasmito tahun 1952.[]

Berbagai tulisan dan wawancaranya dapat dibaca di http://www.thefatwacenter.com
(VT/elshinta/wikipedia)

0 comments:

Post a Comment