Tiba-tiba HP ku berdering, setelah menjawab salam suara di seberang telepon tampak panik “Ayah.. bunda mimisan nich.” Hmm.. kumaklumi kepanikan istriku saat itu karena belum pernah dia mengalami mimisan seperti ini.
Memang cuaca di bulan Agustus siang itu begitu teriknya. Aku pikir ini akibat cuaca yang terik itu. Kemudian aku sarankan dia untuk segera ke dokter. Beberapa hari kemudian istriku sakit pilek.
Seperti biasanya kalau sakit ia hanya minum obat warung dan jarang sekali mau periksa ke dokter. “ oalah bunda…. ke dokter ajah kok takut,” ledekku, ku sorong pipi kenyalnya dengan ujung jari, ia merajuk bibirnya maju 2 centi, lucu melihatnya seperti itu.
Dua minggu berselang tapi pileknya belum juga hilang. Malah katanya ada yang terasa menyumbat di saluran hidungnya, rasanya tak nyaman dan susah bernafas. “Bun… besok kita ke Rumah Sakit ya! biar ayah ijin masuk siang,” rayuku agar ia mau ke Rumah sakit.
Keesokan harinya saya ajak ia ke RS. Bhakti Yudha Depok. Saat itu dokter THT bilang istriku alergi pada debu dan juga bulu-bulu binatang. Tapi sampai obatnya habis pileknya belum juga ada tanda-tanda kesembuhan.
Anehnya yang sering keluar lendir hanya hidung sebelah kiri saja. Bahkan istriku mulai susah bernafas melalui hidung, ia hanya bisa bernafas melalui mulut. Dan ketika saya membawanya periksa untuk kedua kalinya dokter menyarankan untuk rontgen. Namun dari hasil rontgen tidak terlihat adanya kelainan apapun di hidung istriku.
Aku mengajaknya periksa ke RS Proklamasi Jakarta, karena menurut informasi di sini peralatanya lebih lengkap. Ternyata benar, dengan alat penyedot dokter mengeluarkan lendir dari dalam hidung istriku. Senang rasanya melihat ia dapat bernafas dengan lega. “Alhamdulillah…..”
Beberapa hari kemudian sumbatan itu kembali muncul. “Duh..bunda!” Kontrol kedua ke RS. Proklamasi masih saja dokter belum bisa menyampaikan penyakit apa yang dialami istriku ini.
Dokter memasukkan kapas basah ke hidung istriku (ternyata itu adalah bius lokal), beberapa saat kemudian sebuah gunting kecil dimasukkan kedalam hidung dan.. “krek” potongan daging kecil diambil.
Belakangan baru aku tau tindakan inilah yang dinamakan biopsi. Tak ada yang disampaikan kepada kami. Dokter menyarankan dilakukan CT Scan. Kemudian kami menuju ke RSCM untuk CT Scan.
“ini ibu positif,” kata dokter sambil menunjukkan foto CT Scan. Nampak ada sebuah massa diantara belakang hidung dan tenggorokan istriku. Cukup besar seukuran kepalan tangan. Aku masih belum mengerti maksud kata-kata nya dan memang sama sekali tak ada pikiran yang aneh aku coba bertanya, “maksudnya apa dok?”
“ibu positif kanker!”
Dek.. seolah detak jantungku berhenti “KANKER…Dok?”
Tiba-tiba mataku jadi gelap, sebuah beban berat serasa menindih badanku. Aku diam dan tak bisa berkata apa-apa, lama aku terdiam.
“Kanker..?” tanyaku,
tapi kalimat itu tak mampu terucap hanya bersarang di kepalaku. Sebuah penyakit yang selama ini hanya aku kenal lewat informasi dan berita-berita, kini penyakit itupun menghampiri orang terdekatku orang yang paling aku sayangi. Penyakit yang menakutkan itu menyerang istriku.
Kutatap wajah cantik istriku yang dibalut jilbab favoritnya, tenang.. teduh… tak ada ekspresi apa-apa aku makin bingung.
“duhh…bunda apa yang ada dalam fikiranmu bunda…”
“Sekarang bapak ke RSCM ke bagian Radiologi kita harus bertindak cepat,”
tiba-tiba aku tersadar. Segera kuambil surat pengantar dokter dan menuju RSCM.
Sungguh tak pernah terpikirkan sedikitpun sebelumnya, kini kami berada dalam deretan orang-orang penderita kanker di ruang tunggu spesialis Radiologi ini.
Aroma kecemasan bahkan keputus asaan tergambar di wajah mereka. Sebenarnya ini juga saya rasakan, tapi saya harus menyembunyikan raut ini di hadapan istriku. Aku harus tetap menyuguhkan energi penyemangat padanya.
Dihadapan dokter Radiologi aku bertanya, “sebenarnya istriku kena kanker apa dok?”
“kanker nasofaring.” jawab dokter singkat.
Ya Allah….kanker apa lagi ini? Istilahnya saja aneh bagiku. Kenapa harus istriku yang mengalaminya?
“Tapi Insya Allah masih bisa disembuhkan dengan pengobatan sinar radiasi dan kemoterapy,” dokter mencoba menangkap kegalauan diwajahku.
“Nanti ibu harus menjalani pengobatan radiasi selama 25 kali.”
Terbayang beratnya derita dan kelelahan yang harus dialami istriku.
Belum lagi dengan kombinasi pengobatan kemoterapy yang melemahkan fisik. Keluar dari ruang radiologi seolah semuanya jadi gelap, rasanya aku tak kuat menahan segala beban ini.
Segera aku sms family dan teman-teman dekatku, aku kabarkan keadaan istriku dan kumintakan do’a dari mereka. Tak terasa bulir-bulir bening air mata bermunculan disudut mataku.
“Ayah
kenapa? nangis yach..?” dengan polos pertanyaan itu keluar dari bibir istriku.
“iya, ayah sayaaang…. sama bunda,” suaraku gemetar.
Ku usap lembut kepala istriku. Ku tepis perlahan tangannya yang mencoba mengusap air mataku, ku gengggam kuat jari-jari lemahnya. Hatiku berbisik “kenapa tak ada kesedihan diwajahmu bunda? apakah bunda ga tau penyakit ini begitu berbahaya? Atau Allah telah memberitahukan ini semua kepadamu?”
“Bunda biasa ajah koq..” Jawabanya malah makin membuatku tak bisa bernafas, air mataku akhirnya jatuh juga.
Kususuri lorong-lorong RSCM dengan langkah lemas tak bertenaga seolah aku melayang, tulang-tulang terasa tak mampu menyangga badanku yang kecil ini.
Mulai hari itu istriku harus dirawat inap di RS. Proklamasi. Semua persiapanpun dilakukan mulai dari USG, Bond Scan dll. Hasilnya rahim masih bersih dan tulangpun normal artinya kankernya belum mejalar ke bagian lain, Alhamdulillah…sempat kuucap kata syukur itu.
Hari ke empat. Sore itu aku dipanggil ke ruang Dokter Sugiono yang akan melakukan Kemoterapy.
Dikatakan bahwa kanker istriku stadium 2A dan Insya Allah masih bisa diobati. Istrikupun siap untuk menjalani pengobatan dengan kemoterapy. Kemudian kami minta ijin ke Dokter untuk diperbolehkan pulang sambil mempersiapkan segala sesuatunya.
Malam hari ketika kami di rumah, kami minta pendapat dari pihak keluarga tentang pengobatan yang akan kami lakukan. Dengan berbagai pertimbangan dan alasan pihak keluarga menyarankan agar kami tidak menempuh jalan kemo dan radiasi. Kami disarankan untuk menjalani pengobatan dengan cara alternatif dan pengobatan herbal.
Akhirnya sejak saat itu kami melakukan ikhtiar pegobatan dengan cara alternatif dan minum obat-obat herbal. Karena saat itu istriku sudah susah untuk menelan maka obat herbal yang diberikan tidak berupa kapsul, melainkan berupa rebusan.
Setiap hari istriku harus minum ramuan dan rebusan obat-obat herbal yang baunya sangat menyengat. Tapi aku lihat ia dengan telaten dan sabar rutin minum semua obat-obatan itu.
Semangatnya untuk sembuh begitu besar. Doa pun tiada henti kupanjatkan siang dan malam. Dan malam-malamku selalu ku habiskan dengan tahajud dan hajat.
Aku mulai rajin mencari semua informasi yang berhubungan dengan kanker nasofaring, mulai dari makanan, cara pengobatan, bahkan alamat klinik pengobatan alternatif.
Semua informasi aku cari melalui internet, koran dan dari rekan-rekan kerja.
Tiga bulan pengobatan, tapi Allah sepertinya belum memberi jalan kesembuhan dengan cara ini, akhirnya obat herbal aku tinggalkan. Bahkan pengobatan alternatif sudah aku tinggalkan sejak 1 bulan pertama karena aku ragu.
Beberapa keluarga istri mulai putus asa. Malah ada yang beranggapan penyakit ini adalah kiriman dari orang. Tapi aku bantah semuanya,sempat ada pertentangan di antara kami. Aku yakinkan istriku bahwa ini adalah memang ujian dari Allah,
“Bun..semuanya atas kehendak Allah, bahkan jauh sebelum kita lahir sudah tertulis takdir ini, usia segini bunda sakit, berobat kesini-sini itu semua sudah ada dalam catatan Allah bun. Yang penting sekarang kita jangan lelah berihtiar dan bunda tetep harus semangat untuk sembuh.” Ia mengangguk perlahan.
Berat badan istriku mulai turun drastis karena tak ada asupan makanan, sebelum sakit beratnya 53 Kg kini tinggal 36 Kg. Kondisinya makin parah dan puncaknya ketika aku lihat mata kirinya sudah tak focus.
Cara ia melihat seperti orang juling. Menurut Dokter herbal yang menangani istriku inilah rangkaian perjalanan kanker tersebut yang lama kelamaan akan menyerang otak. Dokter menganjurkan untuk segera dibawa ke rumah sakit.
Akhirnya aku kembali membawanya ke Rumah Sakit. Kali ini aku membawanya ke RS. Husni Thamrin. Istriku ditangani oleh team yang terdiri Dokter THT, Dokter Internis dan Dokter spesialis ahli kemoterapy, Kebetulan Dokter Sugiono ahli kemoterapy yang dulu merawat istriku di RS. Proklamasi juga praktek di sini. Dan kini Dokter sugiyono kembali menangani istriku.
Sore itu Dokter memanggilku ke ruangannya. Dokter menjelaskan stadium kanker istriku sudah menjadi 4C, dan kankernya sudah mulai menggerogoti tulang tengkorak penyangga otak.
Melihat hasil CT Scan nya aku merinding, terlihat jelas tulang-tulang tengkorak itu keropos layaknya daun termakan ulat. Aku ingin menjerit, “Ya Allah… begitu berat cobaan ini Kau timpakan pada kami”
“Ma’afkan ayah bun, ayah tak mampu menjaga bunda…!”
Yang lebih mengagetkan ketika dokter mengatakan, “kita hanya bisa memperlambat pertumbuhan kankernya bukan mengobati.” Seolah hitungan mundur kematian itu dimulai. Aku limbung dan hampir taksadarkan diri, sekuat tenaga aku mencoba untuk tetap tegar.
Dengan dipapah adik aku keluar dari ruang dokter. Segera aku menuju Mushola kuambil air wudhu dan kujalankan sholat. Entah sholat apa yang kujalankan ini.
“Aku ingin ketenangan aku butuh pertolonganMu ya Robb. Kutumpahkan segala permohonan ini dihadapanMu yaa Allah.